artikel biologi tentang eutrofikasi

By Marwa Fitriyah - 17.29

Daur Eutrofikasi


2.1 Eutrofikasi
Eutrofikasi adalah suatu proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal. Proses ini juga sering disebut dengan blooming. Dengan kata lain merupakan pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah dimana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik.


2.2 Sejarah Eutrofikasi
Problem eutrofikasi baru disadari pada dekade awal abad ke-20 saat alga banyak tumbuh di danau-danau dan ekosistem air lainnya. Problem ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah domestik. Hingga saat itu belum diketahui secara pasti unsur kimiawi yang sesungguhnya berperan besar dalam munculnya eutrofikasi ini.
Melalui penelitian jangka panjang pada berbagai danau kecil dan besar, para peneliti akhirnya bisa menyimpulkan bahwa fosfor merupakan elemen kunci di antara nutrient utama tanaman (karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P)) di dalam proses eutrofikasi.
Sebuah percobaan berskala besar yang pernah dilakukan pada tahun 1968 terhadap Danau Erie (ELA Lake 226) di Amerika Serikat membuktikan bahwa bagian danau yang hanya ditambahkan karbon dan nitrogen tidak mengalami fenomena algal bloom selama delapan tahun pengamatan. Sebaliknya, bagian danau lainnya yang ditambahkan fosfor (dalam bentuk senyawa fosfat)-di samping karbon dan nitrogen-terbukti nyata mengalami algal bloom.


2.3 Sumber Eutrofikasi
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol - botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai - sungai atau danau di sekitarnya
Menurut Morse et al 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal from Wastewater in the European Community), 10 persen berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 persen dari industri, 11 persen dari detergen, 17 persen dari pupuk pertanian, 23 persen dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 persen, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas (meskipun tidak persis mewakili data di Tanah Air) menunjukkan bagaimana berbagai aktivitas masyarakat di era modern dan semakin
besarnya jumlah populasi manusia menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air. Mengacu pada buku Phosphorus Chemistry in Everyday Living, manusia memang berperan besar sebagai penyumbang limbah fosfat. Secara fisiologis, jumlah fosfat yang dikeluarkan manusia sebanding dengan
jumlah yang dikonsumsinya.
Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989). Limbah organik yang masuk ke dalam perairan dalam bentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, yang dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan; sedangkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya; maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba; baik mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba anaerobik (mikroba yang hudupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba .fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik).
Limbah organik yang ada di badan air aerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba aerobik (BAR); dengan proses seperti pada reaksi (1) dan (2):
BAR + O2 + BAR è CO2 + NH3 + prod lain + enerji .. (1) (COHNS)
COHNS + O2 + BAR + enerji è C5H7O2N (sel MO baru)…(2)
Kedua reaksi tersebut diatas dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak limbah organik yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobik akan makin besar pula kebutuhan oksigen bagi mikroba yang mendekomposisi, bahkan jika keperluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi oksigen terlarut maka oksigen terlarut bisa menjadi nol dan mikroba aerobpun akan musnah digantikan oleh mikroba anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen.

2.4Proses Eutrofikasi
Limbah organic kebanyakan akan mengair ke sungai, danau atau perairan lainnya melalui aliran air hujan. Limbah organik yang masuk ke badan air yang anaerob akan dimanfaatkan dan diurai (dekomposisi) oleh mikroba anaerobik atau fakultatif (BAN); dengan proses seperti pada reaksi (3) dan (4):
COHNS + BAN è CO2 + H2S + NH3 + CH4 + produk lain + enerji … ….(3)
COHNS + BAN + enerji è C5H7O2 N (sel MO baru) …..(4)
Kedua proses tersebut diatas mengungkapkan bahwa aktifitas mikroba yang hidup di bagian badan air yang anaerob selain menghasilkan sel-sel mikroba baru juga menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4 serta senyawa lainnya seperti amin, PH3 dan komponen fosfor. Asam sulfide (H2S), amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap, misalnya H2S berbau busuk dan amin berbau anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk ikan.
Selain menghasilkan senyawa yang tidak bersahabat bagi lingkungan seperti tersebut diatas, hasil dekomposisi di semua bagian badan air menghasilkan CO2 dan NH3 yang siap dipakai oleh organisme perairan berklorofil (fitoplankton) untuk aktifitas fotosintesa; yang dapat digambarkan sebagai reaksi.
Pengaruh pertama proses dekomposisi limbah organik di badan air aerobik adalah terjadinya penurunan oksigen terlarut dalam badan air. Fenomena ini akan mengganggu pernafasan fauna air seperti ikan dan udang-udangan; dengan tingkat gangguan tergantung pada tingkat penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan jenis serta fase fauna. Secara umum diketahui bahwa kebutuhan oksigen jenis udang-udangan lebih tinggi daripada ikan dan kebutuhan oksigen fase larva/juvenil suatu jenis fauna lebih tinggi dari fase dewasanya. Dengan demikian maka dalam kondisi konsentrasi oksigen terlarut menurun akibat dekomposisi; larva udang-udangan akan lebih menderita ataupun mati lebih awal dari larva fauna lainnya. Fenomena seperti itulah yang diduga menjadi sebab kenapa akhir-akhir ini di sepanjang pantai utara P. Jawa yang padat penduduk dan tinggi pemasukan limbah organiknya tidak mudah lagi ditemukan bibit-bibit udang dan bandeng (nener); padahal pada masa lalu dengan mudahnya ditemukan..
Kesulitan fauna karena penurunan oksigen terlarut sebenarnya baru dampak permulaaan, sebab jika jumlah pencemar organik dalam badan air bertambah terus maka proses dekomposisi organik memerlukan oksigen lebih besar dan akibatnya badan air akan mengalami deplesi oksigen bahkan bisa habis sehingga badan air menjadi anaerob (Polprasert, 1989). Jika fenomena ini terjadi pada seluruh bagian badan air maka fauna air akan mati masal karena tidak bisa menghindar; namun jika hanya terjadi di bagian bawah badan air maka fauna air, termasuk ikan masih bisa menghindar ke permukaan hingga terhindar dari kematian. Secara alamiah kejadian anaerob di semua lapisan badan air memang sangat sulit terjadi karena bagian atas air selalu berhubungan dengan udara bebas yang selalu mensupplainya, namun demikian kalau sebagian badan air anaerob sangatlan sering; misal di teluk-teluk waduk dan pantai yang relatip menggenang sering muncul gelembung-gelembung gas yang mengisaratkan bahwa bagian air yang anaerob dekat dengan permukaan air.
Telah diuraikan bahwa pada badan air yang anaerob dekomposisi bahan organik menghasilkan gas-gas, seperti H2S, metan dan amoniak yang bersifat racun bagi fauna seperti ikan dan udang-udangan. Seperti penurunan oksigen terlarut; senyawa-senyawa beracun inipun dalam konsentrasi tertentu akan dapat membunuh fauna air yang ada.
Selain menyebabkan penurunan konsentrasi oksigen terlarut dan menghasilkan senyawa beracun yang selalu merugikan dan dapat menyebabkan kematian fauna; dekomposisi juga dapat menghasilkan kondisi perairan yang cocok bagi kehidupan mikroba fatogen yang terdiri dari mikroba, virus dan protozoa (Polprasert, 1989), yang setelah berkembang-biak, setiap saat dapat menyerang dan menjadi penyakit yang mematikan ikan, udang dan fauna lainnya.
Interaksi kompleks antara nutrien, fitoplankton dan zooplankton tersebut menyebabkan badan air yang mengalami eutrofikasi pada akhirnya akan didominasi oleh sejenis fitoplankton tertentu yang pada umumnya tidak bisa dimakan oleh fauna air terutama zooplankton dan ikan; termasuk karena beracun. Sebagai contoh yang nyata dari fenomena ini adalah dominasi Mycrocistis sp di waduk-waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur (Garno, 2001, 2002, 2003); dan dominasi Pyrodinium bahamense, lexandrium spp. dan Gymnodinium spp. di perairan pantai/pesisir waktu terjadi “red-tide

2.5 Dampak Eutrofikasi

Selain menurunkan konsentrasi oksigen terlarut, menghasilkan senyawa beracun dan menjadi tempat hidup mikroba fatogen yang menyengsarakan fauna air; dekomposisi juga menghasilkan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) yang menyuburkan perairan. Nutrien merupakan unsur kimia yang diperlukan alga (fitoplankton) untuk hidup dan pertumbuhannya (Hutchinson, 1944; Margalef, 1958 dan Frost, 1980). Sampai pada tingkat konsentrasi tertentu, peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air akan meningkatkan produktivitas perairan (Garno, 1995); karena nutrien yang larut dalam badan air langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton (reaksi no 5) untuk pertumbuhannya sehingga populasi dan kelimpahannya meningkat (Garno, 1992). Peningkatan kelimpahan fitoplankton akan diikuti dengan peningkatan kelimpahan zooplankton, yang makanan utamanya adalah fitoplankton (Garno, 1998). Akhirnya karena fitoplankton dan zooplankton adalah makanan utama ikan; maka kenaikan kelimpahan keduanya akan menaikan kelimpahan (produksi) ikan dalam badan air tersebut.
Sangat disayangkan bahwa jika peningkatan nutrien terus berlanjut maka dampak positif seperti itu hanya bersifat sementara bahkan akan terjadi proses yang berdampak negatif bagi kualitas badan air (Anonim, 2001). Peningkatan konsentrasi nutrien yang berkelanjutan dalam badan air, apalagi dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan badan air menjadi sangat subur atau eutrofik (Henderson, 1987). Proses peningkatan kesuburan air yang berlebihan yang disebabkan oleh masuknya nutrien dalam badan air, terutama fosfat inilah yang disebut.
Publikasi yang ada menyatakan bahwa kandungan fosfor > 0,010 mgP•l-1 dan nitrogen > 0,300 mgN•l-1 dalam badan air akan merangsang fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang-biak dengan pesat (Henderson dan Markland, 1987), sehingga terjadi blooming sebagai hasil fotosintesa yang maksimal dan menyebabkan peningkatan biomasa perairan tersebut (Garno, 1992). Sehubungan dengan peningkatan konsentrasi nutrien dalam badan air, setiap jenis fitoplankton mempunyai kemampuan yang berbeda dalam memanfaatkannya sehingga kecepatan tumbuh setiap jenis fitoplankton berbeda (Henderson dan Markland 1987; Margalef, 1958;. Selain itu setiap jenis fitoplankton juga mempunyai respon yang berbeda terhadap perbandingan jenis nutrien yang terlarut dalam badan air (Kilham dan Kilham, 1978). Fenomena ini menyebabkan komunitas fitoplankton dalam suatu badan air mempunyai struktur dan dominasi jenis yang berbeda dengan badan air lainnya (Hutchinson, 1944; Margalef., 1958 Reynolds, 1989).
Perbedaan struktur dan dominasi jenis fitoplankton tersebut diatas juga dipengaruhi oleh karakteristik fitoplankton dan zooplankton yang ada. Diketahui beberapa jenis fitoplankton tidak dapat dimakan oleh zooplankton karena bentuk morpologi, fisiologi (Horn, 1981; Garno, 1993; Geller, 1975, Downing dan Petter, 1980) komposisi fitoplankton; dan mekanisme makan zooplankton (DeMott, 1982; Frost, 1980; James &. Forsynth 1990) serta faktor abiotik lainnya. Selanjutnya dalam kondisi persediaan makanan (fitoplankton) banyak dan beragam; zooplankton melakukan pemilihan terhadap jenis, bentuk dan ukuran fitoplankton yang hendak dimakan atau selective feeding (Garno, 1993).
Selain merugikan dan mengancam keberlanjutan fauna akibat dominasi fito-plankton yang tidak dapat dimakan dan beracun; blooming yang menghasilkan biomasa (organik) tinggi juga merugikan fauna; karena fenomena blooming selalu diikuti dengan penurunan oksigen terlarut secara drastis akibat pe-manfaatan oksigen yang ber lebihan untuk de-komposisi biomasa (organik) yang mati. Seperti pada analisis dampak langsung tersebut diatas maka rendahnya konsentrasi oksigen terlarut apalagi jika sampai batas nol akan menyebabkan ikan dan fauna lainnya tidak bisa hidup dengan baik dan mati. Selain menekan oksigen terlarut proses dekomposisi tersebut juga menghasilkan gas beracun seperti NH3 dan H2S yang pada konsentrasi tertentu dapat membahayakan fauna air, termasuk ikan.
Selain badan air didominasi oleh fitoplankton yang tidak ramah lingkungan seperti tersebut diatas, eutrofikasi juga merangsang pertumbuhan tanaman air lainnya, baik yang hidup di tepian (eceng gondok) maupun dalam badan air (hydrilla). Oleh karena itulah maka di rawa-rawa dan danau-danau yang telah mengalami eutrofikasi tepiannya ditumbuhi dengan subur oleh tanaman air seperti eceng gondok (Eichhornia crassipes), Hydrilla dan rumput air lainnya.
Akhirnya, yang harus dimengerti dan disadari adalah bahwa karena Indonesia merupakan negara tropis yang mendapatkan cahaya Matahari sepanjang tahun; maka blooming (dalam arti biomasa alga tinggi) dapat terjadi sepanjang tahun. Artinya kapan saja (asal tidak mendung/hujan) dan dari manapun asalnya kalau konsentrasi nutrien dalam badan air meningkat maka akan meningkat pula aktifitas fotosintesa fitoplankton yang ada; dan jika peningkatan nutrien cukup besar alau lama akan terjadi blooming. Fenomena itulah yang menyebabkan badan-badan air (waduk, danau dan pantai) di Indonesia yang telah menjadi hijau warnanya tidak pernah atau jarang sekali menjadi jernih kembali; tidak seperti di negeri 4 musim seperti Kanada dan Jepang yang blooming hanya terjadi di akhir musim semi dan panas.
Kondisi eutrofik sangat memungkinkan alga, tumbuhan air berukuran
mikro, untuk tumbuh berkembang biak dengan pesat (blooming) akibat
ketersediaan fosfat yang berlebihan serta kondisi lain yang memadai.
Hal ini bisa dikenali dengan warna air yang menjadi kehijauan, berbau
tak sedap, dan kekeruhannya yang menjadi semakin meningkat. Banyaknya
eceng gondok yang bertebaran di rawa-rawa dan danau-danau juga
disebabkan fosfat yang sangat berlebihan ini. Akibatnya, kualitas air
di banyak ekosistem air menjadi sangat menurun. Rendahnya konsentrasi
oksigen terlarut, bahkan sampai batas nol, menyebabkan makhluk hidup
air seperti ikan dan spesies lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik
sehingga akhirnya mati. Hilangnya ikan dan hewan lainnya dalam mata
rantai ekosistem air menyebabkan terganggunya keseimbangan ekosistem
air. Permasalahan lainnya, cyanobacteria (blue-green algae) diketahui
mengandung toksin sehingga membawa risiko kesehatan bagi manusia dan
hewan. Algal bloom juga menyebabkan hilangnya nilai konservasi,
estetika, rekreasional, dan pariwisata sehingga dibutuhkan biaya
sosial dan ekonomi yang tidak sedikit untuk mengatasinya.

2.6 Penanganan Eutrofikasi
Menyadari bahwa senyawa fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, maka perhatian para saintis dan kelompok masyarakat pencinta lingkungan hidup semakin meningkat terhadap permasalahan ini. Ada kelompok yang condong memilih cara-cara penanggulangan melalui pengolahan limbah cair yang mengandung fosfat, seperti detergen dan limbah manusia, ada juga kelompok yang secara tegas melarang keberadaan fosfor dalam detergen. Program miliaran dollar pernah dicanangkan lewat institusi St Lawrence Great Lakes Basin di AS untuk mengontrol keberadaan fosfat dalam ekosistem air. Sebagai implementasinya, lahirlah peraturan perundangan yang mengatur pembatasan penggunaan fosfat, pembuangan limbah fosfat dari rumah tangga dan permukiman. Upaya untuk menyubstitusi pemakaian fosfat dalam detergen juga menjadi bagian dari program tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penanggulangan terhadap problem
ini sulit membuahkan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut
adalah aktivitas peternakan yang intensif dan hemat lahan, konsumsi
bahan kimiawi yang mengandung unsur fosfat yang berlebihan,
pertumbuhan penduduk Bumi yang semakin cepat, urbanisasi yang semakin
tinggi, dan lepasnya senyawa kimia fosfat yang telah lama terakumulasi
dalam sedimen menuju badan air.





  • Share:

You Might Also Like

0 comments