Pernikahan merupakan ibadah yang memiliki tempat mulia di sisi Allah swt. Tak sedikit dalam bingkai syariat membicarakan tentang pernikahan, apakah itu di dalam Al Quran ataupun hadist-hadist Rasulullah saw. Ketika pernikahan ini berhubungan dengan ibadah maka ibadah tersebut hanyalah akan bernilai di sisi Allah swt jika sesuai dengan bingkai syariat yaitu bingkai A
l Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak”. Tentunya kita tidak ingin serangkaian ibadah ini menjadi tertolak dikarenakan kita melakukan hal-hal yang tidak disandarkan pada Al Quran dan sunnah Rasulullah saw bukan hanya saat prosesi pernikahan saja tapi juga bagaimana jalan menuju pernikahan tersebut.
Apa itu ta’aruf?
Ta’aruf dalam makna umum yang kita ketahui bersama adalah perkenalan, lalu kemudian makna ini dipersempit menjadi proses perkenalan menuju pernikahan dikalangan aktivis dakwah.
Proses ta’aruf yang digunakan sebagai jalan menuju pernikahan tentulah bukan proses seperti orang pacaran atau istilah PDKT (pendekatan). Tapi kemudian proses ini dibingkai sedemikian rupa sehingga nilai ibadah dari proses hingga menuju pernikahan tetaplah terjaga. Dan pastinya proses taaruf yang dibingkai dengan syariat ini bukanlah seperti “taaruf”nya ustadz-ustadz selebriti di tipi.
Proses ini tidak mengenal yang namanya saling sms-an apalagi bbm-an, dua-duaan jalan-jalan apalagi baca quran, belum lagi sering cheting dan fecebookan dengan bingkai taaruf yang berujung tidak jauh beda dengan yang namanya pacaran. Walaupun ngebangunin buat tahajud malam, tetap saja ini bukanlah sebuah proses yang syar’I menuju pernikahan.
Ta’aruf, nikah tanpa cinta?
Berarti ta’aruf itukan menikah tanpa ada cinta? Pastilah akan meuncul pertanyaan yang sangat besar didalam benak. Nah, sebelum dibahas lebih jauh, baca bismillah dulu. Semoga setelah membaca sedikit penjelasan singkat ini pacarnya mau diputusin, atau kalau sering sms-an ama ikhwan atau ikhwat bisa disadari bahwa itu bukanlah cinta tapi justru menghapus cinta bahkan bisa menjadi nista.
Ketika kita berbicara tentang cinta, maka kita akan menemukan sesuatu yang abstrak didalamnya. Apakah benar cinta itu karena cantik, karena harokinya luar biasa, karena pintar, atau karena alasan-alasan lainnya? Atau itu justru sebenarnya lebih kepada rasa suka yang dibalut oleh hawa nafsu semata, karena ketika hal-hal kita sukai tersebut tak kita dapati lagi maka hilang pulalah rasa suka tersebut.
Lalu bagaimana mungkin seseorang itu bisa menikah tanpa cinta?
Yang kita pahami selama ini adalah bahwa rasa cinta itu ada pada suatu pertemuan dimana membuat jantung berdebar kencang dan dada terasa sesak dibuatnya, padahal itu bukanlah cinta.
Allah swt mangatakan didalam Al Quran :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)” (an-Nuur : 26)
Jika kita bersama mencoba untuk memahami apa arti cinta pada ayat di atas maka sejak kapankah cinta itu ada hingga kemudian Allah swt mempertemukan cinta itu dalam bingkai yang bernama pernikahan? Dan kemudian harus percayakah kita dengan proses yang namanya pacaran atau taarufan gaya ustadz selebritis yang ada? Dengan argument bahwa ini adalah proses memupuk cinta sebelum menuju pernikahan?
Cinta itu ternyata telah ada jauh sebelum pernikahan itu ada. Allah swt akan mempertemukan orang-orang yang mencintai apa-apa yang sama-sama mereka cintai. Ketika sama-sama mencintai maksiat maka itulah yang menjadi landasan cinta mereka dan begitupula ketika sama-sama mencitai Allah swt maka itulah yang akan menjadi landasan cinta mereka sehingga tidak ada lagi hal yang perlu ditumbuhkan atau dipupuk dan justru hanya tinggal menuai hasil setelah proses pernikahan dilangsungkan.
Jadi benarkah taaruf itu menikah tanpa cinta?
Wallahualam
Faguza Abdullah
Sumber : Islamedia
Rasulullah saw bersabda : “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak”. Tentunya kita tidak ingin serangkaian ibadah ini menjadi tertolak dikarenakan kita melakukan hal-hal yang tidak disandarkan pada Al Quran dan sunnah Rasulullah saw bukan hanya saat prosesi pernikahan saja tapi juga bagaimana jalan menuju pernikahan tersebut.
Apa itu ta’aruf?
Ta’aruf dalam makna umum yang kita ketahui bersama adalah perkenalan, lalu kemudian makna ini dipersempit menjadi proses perkenalan menuju pernikahan dikalangan aktivis dakwah.
Proses ta’aruf yang digunakan sebagai jalan menuju pernikahan tentulah bukan proses seperti orang pacaran atau istilah PDKT (pendekatan). Tapi kemudian proses ini dibingkai sedemikian rupa sehingga nilai ibadah dari proses hingga menuju pernikahan tetaplah terjaga. Dan pastinya proses taaruf yang dibingkai dengan syariat ini bukanlah seperti “taaruf”nya ustadz-ustadz selebriti di tipi.
Proses ini tidak mengenal yang namanya saling sms-an apalagi bbm-an, dua-duaan jalan-jalan apalagi baca quran, belum lagi sering cheting dan fecebookan dengan bingkai taaruf yang berujung tidak jauh beda dengan yang namanya pacaran. Walaupun ngebangunin buat tahajud malam, tetap saja ini bukanlah sebuah proses yang syar’I menuju pernikahan.
Ta’aruf, nikah tanpa cinta?
Berarti ta’aruf itukan menikah tanpa ada cinta? Pastilah akan meuncul pertanyaan yang sangat besar didalam benak. Nah, sebelum dibahas lebih jauh, baca bismillah dulu. Semoga setelah membaca sedikit penjelasan singkat ini pacarnya mau diputusin, atau kalau sering sms-an ama ikhwan atau ikhwat bisa disadari bahwa itu bukanlah cinta tapi justru menghapus cinta bahkan bisa menjadi nista.
Ketika kita berbicara tentang cinta, maka kita akan menemukan sesuatu yang abstrak didalamnya. Apakah benar cinta itu karena cantik, karena harokinya luar biasa, karena pintar, atau karena alasan-alasan lainnya? Atau itu justru sebenarnya lebih kepada rasa suka yang dibalut oleh hawa nafsu semata, karena ketika hal-hal kita sukai tersebut tak kita dapati lagi maka hilang pulalah rasa suka tersebut.
Lalu bagaimana mungkin seseorang itu bisa menikah tanpa cinta?
Yang kita pahami selama ini adalah bahwa rasa cinta itu ada pada suatu pertemuan dimana membuat jantung berdebar kencang dan dada terasa sesak dibuatnya, padahal itu bukanlah cinta.
Allah swt mangatakan didalam Al Quran :
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)” (an-Nuur : 26)
Jika kita bersama mencoba untuk memahami apa arti cinta pada ayat di atas maka sejak kapankah cinta itu ada hingga kemudian Allah swt mempertemukan cinta itu dalam bingkai yang bernama pernikahan? Dan kemudian harus percayakah kita dengan proses yang namanya pacaran atau taarufan gaya ustadz selebritis yang ada? Dengan argument bahwa ini adalah proses memupuk cinta sebelum menuju pernikahan?
Cinta itu ternyata telah ada jauh sebelum pernikahan itu ada. Allah swt akan mempertemukan orang-orang yang mencintai apa-apa yang sama-sama mereka cintai. Ketika sama-sama mencintai maksiat maka itulah yang menjadi landasan cinta mereka dan begitupula ketika sama-sama mencitai Allah swt maka itulah yang akan menjadi landasan cinta mereka sehingga tidak ada lagi hal yang perlu ditumbuhkan atau dipupuk dan justru hanya tinggal menuai hasil setelah proses pernikahan dilangsungkan.
Jadi benarkah taaruf itu menikah tanpa cinta?
Wallahualam
Faguza Abdullah
Sumber : Islamedia
0 comments